BAB
I
PENDAHULUAN
Alur
pikir bagaimana yang digunakan menelaah krisis pembanguan di Tanah Papua?
Pertanyaan ini perlu dijawab secara gamblang, sebab bila tak jelas dan
diragukan hanya akan membuat “kabur air”. Selama ini telah banyak alur pikir,
aneka ragam model dan paradigma pembangunan yang telah dipakai di Tanah
Papua, yang pada dasarnya dimaksudkan sebagai instrumen untuk mengubah
kehidupan masyarakat ke arah perbaikan yang lebih maju, tetapi tidak maju-maju
juga. Berbagai ukuran dapat digunakan untuk menunjukkan kemajuan baik dari sisi
ekonomi maupun sosial budaya dan politik. Tetapi sesungguhnya model terapan
tersebut merupakan terjemahan dari ancangan suatu pola dan konsep anutan
kebijakan pembangunan. Kini, dengan semakin menguatnya keinginan memandirikan
daerah dalam konteks otonomi, mengharuskan adanya adaptasi model dan paradigma
pembangunan yang lebih adil, demokratis, dan manusiawi, menggeser paradigma
lama yang terbukti tidak memberi garansi memuaskan. Dalam hal pembangunan
dipandang sebagai suatu proses multidimensi yang berlangsung secara seimbang
antara perubahan-perubahan dalam struktur sosial dan akselerasi pertumbuhan
ekonomi, maka dibutuhkan penyikapan yang arif bukan menurut penguasa saja,
melainkan masyarakat patut diajak bicara.
Sejarah
pembangunan daerah di Tanah Papua dalam kurun waktu 30-an tahun, lebih
dipengaruhi oleh paradigma pertumbuhan yang sentralistis ketimbang paradigma
kesejahteraan yang memihak rakyat. Oleh karena itu, dipertanyakan kembali: masih
relevankan para-digma pertumbuhan dalam proses pembangunan di Tanah papua
? Untuk mencoba menjawabnya, perlu merenungkan kembali dan mengkaji
ko-nsepsi pembangunan yang harus dikembangkan di tengah tingginya intensitas
per-ubahan dewasa ini, memasuki era otonomi khusus di abad informasi. Dalam
kondisi dilemmatis, di mana pada satu sisi, prinsip otonomi khusus dengan
kemandiriannya harus dikom-petisikan dengan kemajuan global, sementara di sisi
lain masyarakat di Tanah Papua saat ini umumnya masih terkondisikan dalam
tingkat produktivitas rendah dan kalah bersaing. Sebagaimana diketahui bahwa
kemajuan dunia dewasa ini telah meng indikasikan beberapa faktor seperti:
rotasi perkembangan teknologi dengan rentang waktu pendek, teknologi informasi
canggih, per-dagangan bebas, primary service, good governence, high
cempetition. Indikasi tersebut seringkali menjadi dasar acuan kebijakan
pembangunan yang dipercepat. Padahal, memacu pertumbuhan dengan memanfaatkan
nilai-nilai dari luar, jelas berada dalam takaran keraguan.
Munculnya
gugatan terhadap keabsahan paradigma pertumbuhan akhir-akhir ini terutama dalam
membangun masyarakat secara materil, karena dilatari mun-culnya banyak fenomena
yang menimbulkan berbagai masalah. Salah satu aspek–nya adalah ketika
pembangunan diidentikkan dengan pertumbuhan yang mengede-pankan prinsip trickle
down effect dan spread effect, ternyata telah menghasilkan
konglomerasi di satu pihak dan kemiskinan di pihak lain. Sementara itu, ketika
pembangunan diidentikkan dengan modernisasi, menimbulkan pola-pola pengem-bangan
yang cenderung bersifat memaksa dan berimplikasi pada tingkat keter-gantungan
masyarakat yang tinggi. Akibatnya, banyak nilai-nilai tradisional yang memiliki
potensi riil untuk mendorong pengembangan masyarakat menjadi teralienasi dan
kehilangan daya rekatnya. Sesungguhnya, konsepsi pembangunan tersebut tidaklah
sebatas eufimisme dari pertumbuhan atau modernisasi dengan parameter ekonomi
serta kemajuan fisik dan material semata, melainkan lebih dari itu diperlukan
aspek-aspek non material yang mencakup pembentukan dan pengembangan keseluruhan
sikap-sikap sosial dalam masyarakat. Pencerminan terhadap konsepsi pembangunan
yang mengemuka di Tanah Papua dalam bebe-rapa kurun waktu ternyata menjadi
landasan yang mengilhami pencerahan para perencana pembangunan dalam
mendesain pembangunan.
Seiring
dengan bergulirnya agenda reformasi sebagai respon terhadap krisis
multi-dimensi yang mewarnai proses pembangunan, maka pemerintah telah
meng-gariskan langkah-langkah kebijakan pembangunan yang meliputi empat tahapan
yaitu : penyelamatan (rescue); pemulihan (recovery); pemantapan (stabilization);
dan pembangunan (development). Dalam pelaksanaannya, diarahkan pada
upaya pening-katan kapabilitas lokal dalam konteks otonomi luas, nyata dan
bertanggung jawab menuju ke otonomi khusus. Dengan demikian, desain model
pembangunan ber-sifat makro-sektoral dan mikro-spasial sesuai
kondisi daerah di Tanah Papua, meng-kombinasikan paradigma dan teori
pembangunan dari berbagai aliran.
Merujuk
pada hal-hal di atas, maka ancangan pembangunan di Tanah Papua ke depan,
perlu diantisipasi dengan melakukan restrospeksi dan evaluasi kritis untuk
menemukan perspektif solusinya. Dalam hal ini, dilakukan deskripsi tentang
issu-issu pembangunan strategik dan analisis terhadap aspek-aspek analisis
historis, yang meliputi tiga tahapan paradigma dan aliran teori pembangunan
yang pernah dan sedang dianut sejak Orde Baru hingga Orde Reformasi.
B
A B II
ISI
- A. ISSU-ISSU STRATEGIK
Issu-issu
utama pembangunan di Papua, telah lama menjadi perhatian publik, baik
pemerintah maupun masyarakat. Di pihak masyarakat, issu-issu tersebut telah
menjadi arena perjuangan dalam rangka menemukan suatu kondisi yang lebih baik
di semua aspek kehidupan, sementara itu di pihak Pemerintah, issu-issu tersebut
telah disetting sebagai agenda pembangunan dalam berbagai kebijakan, strategi
dan program-program pembangunan tahunannya. Adapun issu-issu pembangunan
tersebut meliputi semua bidang dan sektor yang pada dasarnya masih tertinggal
dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia. Tetapi sejumlah issu strategis
penting selama 5(lima) tahun terakhir ini adalah :
- Sumberdaya Manusia : berdasarkan laporan Pemerintah Provinsi Papua (2004) bahwa sebagian besar kualitas sumberdaya manusia di Papua masih belum memadai. Lebih dari 79,4 % penduduk usia kerja (15 tahun ke atas), masih berpendidikan SLTP ke bawah. Dengan kondisi ketenaga kerjaan yang demikian itu, akan sulit menangkap peluang usaha dan menciptakan lapangan kerja. Apalagi dihadapkan pada persaingan yang kian ketat dengan profesionalitas yang tinggi.
- Pemberdayaan Ekonomi Daerah : Memperhatikan struktur ekonomi Papua dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, nampak didominasi sektor pertambangan dan penggalian, sektor pertanian, serta sektor perdagangan dan jasa. Sementara sektor-sektor lainnya hanya memberikan kontribusi terhadap PDRB sangat kecil. Menurut hasil penelitian UNDP bekerjasama dengan Universitas Cenderawasih (2005), diperkirakan masih terdapat 41,80% penduduk yang dikategorikan sebagai kelompok miskin di Papua, dan angka ini sedikit menurun pada tahun 2003 yaitu 39,02 %. Bila dibandingkan dengan angka nasional, Papua masih tergolong daerah dengan tingkat kemiskinan yang tinggi. Di Kabupaten Jayawijaya, Paniai dan Toli-kara memiliki persentase penduduk miskin relatif lebih besar dibanding daerah pantai seperti Asmat, Keerom, Boven Digoel dan Sarmi. Demikian halnya dengan Kabupaten Asmat, Boven Digoel, dan Merauke sebagai kabupaten induknya, tidak ada perbedaan yang jauh dalam hal persentase penduduk miskin. Data yang dikeluarkan oleh Bappenas (2004) dan Susenas (2004) menunjukkan bahwa per-sentase penduduk miskin Papua, menurun dari 41,80 pada 2002 menjadi 39,02 pada tahun 2003. Tetapi jika dibandingkan dengan persentase tingkat nasional, kemiskinan di Papua tergolong tinggi. Sementara itu, Indeks Kemiskinan Manusia (IKM) dan Indeks pembangunan Manusia (IPM) dapat dilihat pada tabel berikut :
INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM)
1999-2002
|
||||||||||||||||||||||||
Skala
|
Harapan Hidup
(Tahun)
|
Angka Melek Huruf (%)
|
Rata-rata Lama Sekolah
(tahun)
|
Pengeluaran Perkapita
(Ribu
Rupiah)
|
IPM
|
Peringkat
IPM
|
Reduksi
IPM
|
|||||||||||||||||
1999
|
2002
|
1999
|
2002
|
1999
|
2002
|
1999
|
2002
|
1999
|
2002
|
1999
|
2002
|
99-02
|
||||||||||||
Nasional
|
66.2
|
66.2
|
88.4
|
89.95
|
6.7
|
7.1
|
578.8
|
591.2
|
64.3
|
65.8
|
-
|
-
|
-
|
|||||||||||
Papua
|
64.5
|
65.2
|
71.2
|
74.4
|
5.6
|
6.0
|
579.9
|
578.2
|
58.8
|
60.1
|
25
|
29
|
1.5
|
|||||||||||
INDEKS
KEMISKINAN MANUSIA (IKM) 1999-2000
|
||||||||||||||||||||||||
Skala
|
Penduduk Tidak capai Usia 40 tahun
(%)
|
Angka Buta Huruf dewasa
|
Penduduk Tanpa Akses Air bersih
(%)
|
Penduduk Tanpa Akses Sarana
Kesehatan
|
Balita Kurang Gizi (%)
|
IKM
|
||||||||||||||||||
1999
|
2002
|
1999
|
2002
|
1999
|
2002
|
1999
|
2002
|
1999
|
2002
|
1999
|
2002
|
|||||||||||||
Nasional
|
15.2
|
15.0
|
11.6
|
10.5
|
51.9
|
44.8
|
21.6
|
23.1
|
30.0
|
25.8
|
25.2
|
22.7
|
||||||||||||
Papua
|
17.8
|
16.7
|
28.8
|
26.9
|
54.5
|
61.6
|
35.0
|
36.1
|
28.3
|
24.3
|
31.3
|
30.9
|
||||||||||||
Sumber
: Susenas 2004.
- Infrastruktur : Prasarana jalan dan transportasi di Papua adalah salah faktor penyebab utama dari ketertinggalan. Oleh karena itu, pembangunan dan perbaikan atau peningkatan jalan darat menjadi kebutuhan yang sangat mendesak dan penting. Teristimewa untuk tiga kabupaten, Paniai, Tolikara dan Boven Digoel yang memiliki lebih dari 35 kampungnya hanya dapat dijangkau oleh angkutan udara. Keadaan ini mengakibatkan kampung-kampung tersebut secara relatif masih terisolasi. Penambahan jaringan listrik dan kapasitasnya juga menjadi kebutuhan yang sangat mendesak. Kabupaten Paniai dan Sarmi kurang dari 3% penduduknya yang menikmati fasilitas listrik. Ada empat kabupaten, yaitu Sarmi, Keerom, Tolikara dan Boven Digoel yang tidak mengelola sampah dan sanitasi air kotor di daerahnya. Keadaan ini apabila dibiarkan, pada saatnya nanti akan menjadi permasalahan serius di empat kabupaten tersebut. Karena sampah dan sanitasi air kotor yang tidak dikelola dengan baik akan menjadi sumber penyakit bagi penduduk di daerah tersebut. Kebutuhan air bersih juga menjadi hal yang mendesak di lima kabupaten, yaitu Sarmi, Keerom, Tolikara, Boven Digoel dan Asmat. Karena situasi, kondisi dan lingkungannya, kelima kabupaten tersebut, sulit mendapatkan air sumur yang memenuhi standar minimal air bersih. Bahkan khusus untuk daerah Asmat tidak mungkin membuat sumur untuk air minum. Mereka hanya bisa mengandalkan air hujan. Kabupaten Paniai, Sarmi, Keerom dan Tolikara, juga membutuhkan peningkatan pelayanan listrik, jaringan dan kapasitasnya. Kurang dari 3% rumah tangga yang mendapatkan pelayanan listrik. Bahkan di Tolikara, belum ada kantor PLN (Perusahaan Listrik Negara).
- Pemerintahan : Di bidang ini, nampak terlihat masih adanya kendala serius, terutama dalam hal : justifikasi hukum pemerintahan serta kapasitas dan kinerja orga-nisasi pemerintahan. Kerangka pemerintahan dalam konteks otonomi khusus menjadi kabur, karena belum jelasnya perangkat pemerintahan yang seharusnya diberlakukan, sementara itu kapasitas dan kinerja organisasinya menjadi lemah oleh karena: (a) Semua daerah baik yang lama maupun yang baru dimekarkan telah membentuk dinas-dinas yang terkait dengan sektor tersebut; (b) Pelaksanaan fungsi dan tugas dinas-dinas di daerah pemekaran sudah berjalan namun belum optimal karena pada tahun-tahun awal perhatian pemerintah sebagian besar pada penyediaan prasarana dan sarana fisik kantor. (c) Masih banyak pegawai dari dinas-dinas di daerah pemekaran meninggalkan tugas dan tinggal di kota-kota.
- B. POLA PENDEKATAN
Bertitik
tolak pada kondisi potensi dan permasalahan, maka kebijakan pemba-ngunan
ditempuh dengan 4(empat) pendekatan, yaitu : (a) Mikro spasial vs Makro
sektoral. Keserasian pendekatan kawasan yang bertumpu pada aspek manusia
(mikro) dan pen-dekatan pertumbuhan yang bertumpu pada sektor potensial
(makro); (b) Kesejahteraan dan ketenteraman. Keserasian proses
pembangunan dilaksanakan secara terpadu untuk meningkatkan kesejahteraan dan
ketenteraman lahir dan bathin yang dinamis dalam massyarakat; (c) TigaTungku.
Keserasian pendekatan pembangunan di mana dalam proses pembangunan melibatkan
peran aktif tokoh adat, tokoh agama dan pemerintah secara serasi, sesuai dengan
tugas dan fungsinya masing-masing melalui kemitraan dengan pola pendampingan,
pembimbingan dan perlindungan kepada masyarakat sebagai wujud nyata
pemerintahan yang baik (good governance) ; (d) Wawasan Lingkungan.
Keserasian pembangunan dengan kelestarian fungsi lingkungan hidup, di mana
semua kegiatan pembangunan harus dikaji dampaknya.
- C. ARAH KEBIJAKAN
Secara
khusus, kebijakan pembangunan di Provinsi Papua dititik beratkan pada 4 program
prioritas utama, yaitu :
- Pendidikan : diarahkan pada peningkatan kualitas sumberdaya manusia agar mampu merubah sikap, orientasi dan pola pikir untuk bertindak secara profesional, mandiri dan mampu bersaing di era globalisasi. Dalam era otonomi khusus, proses pendidikan memperhatikan keragaman kebutuhan daerah dengan memperbesar muatan lokal. Meng-upayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan mengembangkan pola dan sistem pendidikan sesuai dengan karakteristik spesifik Papua seperti pendidikan berpola asrama. Peningkatan mutu pendidikan Adapun jabaran kebijakan menjadi kegiatan dititik beratkan pada pemerataan dan peningkatan mutu pendidikan yang bertujuan untuk menjangkau dan menyerap penduduk usia sekolah serta meningkatkan kuantitas dan kualitas SDM agar menguasai Ipteks, merubah sikap dan pola pikir untuk bertindak pro-fesional, mandiri dan mampu bersaing di era globalisasi serta mampu mengelola potensi sumberdaya alam bagi peningkatan kesejahteraannya.
- Kesehatan : diarahkan pada peningkatan mutu lingkungan hidup yang sehat dan mendukung tumbuh dan berkembangnya anak dan remaja, pemenuhan kebutuhan dasar untuk hidup sehat, pemeliharaan dan peningkatan derajat kesehatan serta mencegah terjadinya resiko penyakit, peningkatan jumlah dan mutu tenaga medis dan paramedis, serta penyediaan prasarana dan sarana kesehatan dan obat-obatan.
- Ekonomi Kerakyatan. Diarahkan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam berbagai aktivitas pembangunan khususnya di bidang ekonomi. Pember-dayaan ekonomi rakyat menjadi acuan untuk meningkatkan kualitas sumberdaya masyarakat agar mampu mengolah dan mengelola sumberdaya alam secara efisien dan berkelanjutan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraannya. Di dalam Renstra telah dituangkan bahwa pertanian merupakan salah satu sektor yang akan terus dipacu pengembangannya. Kebijakannya diarahkan pada sektor : pertanian, perikanan dan kelautan, serta kehutanan.
- Infrastruktur. Dalam rangka pembangunan prasarana dan Sarana, kebijakan diarahkan pada pembangunan dan peningkatan infrastuktur pemerintahan, ekonomi dan Pelayanan Publik de-ngan tujuan untuk mendukung pe-ngembangan wilayah, terutama wi-layah yang belum tersentuh pem-bangunan, pusat-pusat pemerintahan, kawasan pengembangan ekonomi rakyat dan kawasan-kawasan tumbuh cepat. Pembangunan infrastruktur di-harapkan dapat meningkatkan pelayanan pemerintahan serta mendorong perkembangan ekonomi wilayah dan menggerakkan kegiatan ekonomi rakyat di suatu kawasan dan sekitarnya, meningkatkan kesejahteraan masyarakat pedesaan, mempercepat kemajuan ekonomi perdesaan, memberikan akses bagi masyarakat pedesaan untuk berusaha, menciptakan lapangan kerja, memperlancar arus barang dan jasa, serta menjamin tersedianya bahan pangan dan bahan pokok lainnya. Di sektor perhubungan, sejumlah kegiatan diarahkan untuk : (a) Mengembangkan sistim transportasi laut, darat dan udara terutama menuntaskan pembangunan ruas jalan strategis antar kabupaten-kota. (b) Mengembangkan sistim angkutan umum melalui penyediaan kapal penumpang perintis dan jasa transportasi laut lainnya sebagai penghubung antar pulau. (c) Mengembangkan dan membangun jaringan jalan antar desa/kampung. (d) Mengembangkan sarana dan prasarana transportasi untuk mendukung pembangunan Kota Kabupaten.
- D. Relevansi Teori Dan Paradigma Pembangunan
Gagalnya
suatu paradigma menerangkan fenomena atau gejala alam (dan atau gejala sosial)
yang merupakan suatu realitas baru, disebabkan adanya “unsur” baru yang
sebelumnya tidak diprediksi keberadaannya sewaktu paradigma itu disusun. Oleh
karena itu, upaya pertama yang perlu dilakukan dalam penyempur-naan atau
penyusunan paradigma adalah penemukenalan unsur-unsur dimaksud. Dikaitkan
dengan kondisi Papua,penyusunan dan perumusan wacana kemandirian lokal sebagai
suatu alternatif pendekatan atau paradigma baru pembangunan dilakukan dengan
bertitik tolak pada upaya penemukenalan “unsur” yang menjadi penyebab kegagalan
pendekatan pemba-ngunan yang lama. Pendekatan pembangunan yang dikenal dan
dikembangkan oleh para pakar dan praktisi pembangunan cukup mewarnai dinamika
pembangunan di Tanah Papua selama ini, sebut saja teori modernisasi, teori
ketergantungan, teori artikulasi, dan teori sistem dunia. Penerapan teori-teori
tersebut ternyata tidak secara rigit dianut, melainkan kombisasi antar teori
yang melahirkan suatu paradigma pembangungan yang sangat variatif dan terkadang
menjadi tidak jelas. Contoh : antara paradigma pertumbuhan dan paradigma
pemerataan yang di dalamnya menyertakan pula konsep pembangunan berwawasan
lingkungan pembangunan manusia seutuhnya, dan pembangunan berkelanjutan.
- Paradigma Pembangunan Era Sentralistis
Pada
era sentralistis – ketika itu Papua masih disebut Irian Jaya – paradigma
pembangunan yang diterapkan nampak merupakan kombinasi teori yang dikenal
sebagaimana diutarakan sebelumnya, lebih dominan pada paradigma pertumbuhan
menurut teori modernisasi. Hal ini jelas nampak pada posisi hubungan Jakarta-
Papua, di mana hampir seluruh ide, konsep, rencana, dan petunjuk pelaksanaan
pembangunan dilakukan secara terpusat yang mengandalkan prinsip tricle down
effect. Walau paradigma tersebut diselingi dengan paradigma pemerataan dan
keadilan, tetapi tak cukup memberi warna pada seluruh tahapan pembangunan di
Papua. Secara umum, konsep pembangunan yang diterapkan berdasar pada para-digma
itu adalah membagi Tanah Papua ke dalam beberapa wilayah “pusat pertumbuhan”.
Ketika itu terdapat 4 pusat pertumbuhan. Konsep ini, kemudian ternyata
menimbulkan kesenjangan yang kian menganga antara daerah pusat pertumbuhan yang
dipercepat dengan daerah-daerah pinggiran dan hinterland yang hanya
memperoleh efek minimal saja. Konsep tersebut dituangkan dalam Pola Dasar
pembangunan jangka panjang, yang selanjutnya dioperasionalkan dalam REPELITADA
dan APBD dan menggunakan mekanisme UDKP dan Rakorbang. Dalam bidang pendidikan,
ditandai dengan kebijakan dan strategi “percepatan” kualitas dengan standar
yang ditentukan di Jakarta berdasarkan prinsip sama bagi semua Maka berlakulah
kurikulum nasional pada semua jenjang pendidikan hingga 70 % dari seluruh
muatan kurikulum. Alokasi pembiayaan, personalia, dan sarana manajemen lainnya,
serta penetapan program pembangunan di bidang pendidikan di desain bukan oleh
Pemerintah Daerah. Demikian pula halnya di bidang lainnya, termasuk di bidang
ekonomi. Skala pembangunan ekonomi di Papua, ketika itu termasuk yang terkecil
dibandingkan dengan Provinsi lain di Indonesia.
Sektor
pertambangan dan migas yang menjadi andalan kekayaan Papua dikuasai oleh Jakarta
dan dikembalikan ke Papua hanya dalam jumlah yang kecil (maksimal 30 % saja
dari keuntungan yang diterima oleh Negara). Di bidang kependudukan, atas dasar
pemerataan penduduk semata tanpa memperhatikan aspek kualitasnya, Pemerintah
Pusat mengirim transmigran dalam jumlah besar ke Papua. Pemerintah dan
masyarakat Papua tinggal menerima saja tanpa dilibatkan secara serius dalam
perencanaannya. Pada era pembangunan ini, juga diterapkan paradigma
pemerataan yang didasarkan pada teori artikulasi, di mana melalui berbagai
program pembangunan di kampung-kampung ditempuh dengan menggunakan strategi
“pengelompokan masyarakat”. Muncullah berbagai simpul-simpul kecil pembangunan
di desa-desa, seperti : KSM, POKMAS, dll. Yang dimaksudkan agar masyarakat
dapat secara bersama-sama dalam kelompoknya mendesain rencana kebutuhannya
sendiri dengan cara produksi bersama-sama. Sebutlah misalnya : Program Inpres
Desa Tertinggal (IDT), JPS, dan Pengembangan Kawasan Terpadu, Program BANGDES,
dengan pola pendampingan. Program ini dilakukan pada skala mikro-spasial tetapi
dirancang dengan skala-makro oleh pemerintah.
Bagi
Papua, serangkaian fakta-fakta tersebut justru hanya menciptakan
ketergan-tungan abadi. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 yang mendasari
penyelenggaraan Pemerintahan daerah tidak cukup kuat untuk dijadikan argumen
menggeser kewenangan itu dari Jakarta ke Papua. Faktanya, dalam segala hal,
tugas Pemerintah Provinsi atau Kabupaten/Kota hanya sebatas mengusulkan. Badan
Perencanaan pembangunan Daerah yang dibentuk di Papua pada 1976, tidak
dapat berperan sebagai institusi fungsional, sebab perannya selama ini kurang
jelas baik sebagai koordinator pembangunan maupun sebagai pengendali
pemba-ngunan. Karena ketidak jelasan tersebut, maka seringkali Bappeda justru
bertindak sebagai pelaksana pembangunan Beberapa sinyalemen tentang
kegagalan pembangunan di Papua ketika itu adalah bentuk ekspresi dari
penyesalan terhadap perlakuan kebijakan pemerintah pusat di Papua yang ternyata
hanya menimbulkan deviasi terhadap sasaran yang ingin dicapai. Penyebabnya
jelas, faktor-faktor struktural sebagai faktor ikutan dari teori modernisasi
dengan paradigma pertumbuhannya, mencakup : masalah alokasi anggaran yang tidak
tepat waktu sesuai dengan desakan kebutuhan masyarakat, mekanisme top-down yang
lebih dominan, serta disiplinisasi pada mekanisme aturan perencanaan yang
berlaku, ukuran keberhasilan yang digunakan kurang tepat.
- Paradigma pembangunan Era Otonomi Daerah
Bahwa
reformasi nasional telah melahirkan beberapa perubahan mendasar hingga ke Tanah
Papua. Dimulai dengan pergeseran kewanangan dari Jakarta ke daerah-daerah dalam
konteks desentralisasi pemerintahan melalui undang-undang Nomor 22 tahun 1999
dan undang-undang Nomor 25 tahun 1999. Implikasi lebih jauh dari undang-undang
tersebut adalah bahwa Pemerintah Kabupaten/kota di Tanah Papua mulai memiliki
kewenangannya sendiri untuk membangun daerahnya masing-masing, kecuali dalam 6
hal yaitu: luar negeri, pertahanan, moneter, kehakiman, agama, dan
lain-lain.Era ini ditandai dengan semakin menumpuknya masalah- masalah
pemba-ngunan yang ditimbulkan oleh kondisi masa lalu. Satu-persatu masalah
mencuat. Di lain pihak, pemerintah tidak cukup stabil dalam menjalankan roda
peme-rintahan dan mendesain rencana pembangunannya. Krisis di Tanah Papua yang
sudah terjadi sejak lama kemudian berlanjut. Sejumlah peristiwa politik yang
tidak menguntungkan telah turut mempengaruhi kinerja pembangunan yang memang
sudah terseok-seok itu. Praktis, laju pembangunan di era ini berjalan perlahan
tanpa tenaga. Para pihak lebih banyak disibukkan dalam pembenahan masalah
politik dan penyesuaian kebijakan baru serta penataan kembali organisasi
pemerintahan dan rencana pembangunan daerah.
Munculnya
kesadaran baru bagi masyarakat di Tanah Papua,seolah meng-giring pemerintahan
dan pembangunan ke arah perubahan yang sangat drastis. Dalam usianya yang hanya
kurang dari 4 tahun, era otonomi daerah hanya melahirkan sejumlah icon baru
pembangunan, seperti : kian menebalnya sikap emosional yang melahirkan istilah
“putra daerah”, “menjadi tuan di negeri sendiri”, yang bersamaan dengan
meningkatnya tekanan sebagian kelompok masyarakat yang ingin merdeka. Kebijakan
pemerintah daerah untuk menjustifikasi hal tersebut bersifat protektif.
Artinya, bahwa pembangunan di Tanah Papua harus memberikan prioritas pada Orang
Papua. Hal ini disadari benar bahwa selama Pemerintahan Orde Baru pada era
pembangunan sentralistis, Orang Papua kurang dihiraukan sebagai obyek utama
pembangunan Sejumlah kemajuan yang diperoleh pada era ini adalah mengurangi
jumlah pengangguran dengan melakukan rek-ruitmen Pegawai Negeri Sipil baru
lebih dari 3.000 orang dalam 3 tahapan yang di-dominasi oleh orang-orang Papua.
Selain itu, dilakukan pula penyesuaian struktur organisasi dan promosi jabatan
bagi Orang Papua di semua eselon penting. Juga, diperoleh kemajuan dari aspek
pemberdayaan institusi kemasyarakatan. Seiring dengan era reformasi institusi
kemasyarakatan menjadi tumbuh dan berkembang kuat untuk menjadi mitra kerja
pemerintah dalam pembangunan Sangat disayangkan, karena
dalam kurun waktu itu belum dapat dilakukan perluasan lapangan kerja di luar
sektor pemerintahan. Hal ini lebih disebabkan oleh 2 faktor utama, yaitu :
minimnya kualitas sumberdaya manusia, dan faktor permodalan usaha lokal yang masih
terbatas. Kebijakan rekruitmen dan promosi di dalam birokrasi pemerintahan
kurang memperhatikan aapek kualitasnya. Hubungan-hubungan kerja ke-dinas-an
berkembang menjadi negatif ke arah primordialisme sempit. Munculnya
fenomena baru yang cenderung tidak efisien dalam pembangunan, serta pertumbuhan
institusi sosial kemasyarakatan menjadi tidak terkendalikan dengan baik.
Sisi
positif dari kelahiran kesadaran baru itu adalah semakin menguatnya visi
bersama menuju ke kemandirian lokal dalam konteks NKRI. Maksudnya adalah bahwa
mulai disadari kelemahan sumberdaya manusia ditengah-tengah kekuatan sumberdaya
alam yang berlimpah. pembangunan di semua bidang dan sektor tidak optimal dan
hanya melahirkan ketidak percayaan rakyat pada pemerintah. Tingkat pendidikan rendah,
derajat kesehatan masyarakat rendah, tingkat kemiskinan rakyat amat parah,
infrastuktur serba tak berkecukupan. Apa yang salah ? Demikian pertanyaan yang
seringkali timbul dalam berbagai wacana pembangunan di daerah ini. Gagasan
kemudian bergulir untuk memotong ketergantungan dari Pemerintah Pusat dan mulai
pro-aktif melakukan pemberdayaan masyarakat di semua aspek kehidupan.Paradigma
pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan tidak lagi menjadi primadona.
Tetapi yang dikedepankan adalah paradigma pemerataan pembangunan yang manusiawi
dan berwawasan lingkungan. Periodisasi era yang singkat ini hanya dapat
menghasilkan suatu kerangka pembangunan berbasis “kemandirian” yang meletakkan
dasar-dasar pokok bagi kelanjutannya di era berikutnya. Paradigma yang
dikembangkan masih berkutat pada teori modernisasi, tetapi lebih mengedepankan
teori weber tentang etika protestan, teori McLelland tentang N-Ach, dan teori
Inkeles tentang pembangunan berwajah manusiawi. Mulailah dikedepankan ekonomi
kerakyatan, dimana seluruh aspek perekonomian daerah mulai dirancang dari
masyarakat hingga ke tingkat makro. Penerapan strategi ekonomi kerakyatan di
masa lalu hanyalah bersifat semu dan setengah hati saja, karena sama sekali
tidak membantu rakyat miskin. Peningkatan kualitas sumberdaya manusia dimulai
dari jenjang pendidikan dasar dengan pola asrama dan melakukan mengkaderan
melalui pengembangan kerjasama pendidikan dengan institusi pendidikan yang
sudah maju di dalam dan di luar negeri. Selain itu institusi birokrasi mulai
memperjelas visi dan misi pembangunan yang diembannya masing-masing, serta
membangun jaringan kemitraan dengan berbagai stakeholders.
Oleh
karena sebagian besar penduduk Papua bermukim di kawasan perdesan itu, relatif
masih membutuhkan bimbingan, maka pola pendampingan dijadikan pola pemberdayaan
sangat relevan, dengan melibatkan peran para tokoh pem-baharu di Kampung,
seperti tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, dan LSM. Dalam penerapannya,
pola pemberdayaan masyarakat di kawasan perdesaan dan masyarakat di kawasan
perkotaan tidak dipersamakan, karena selain karak-teristik sosial-ekonominya
berbeda, kehadiran varian-varian kekuatan institusi masyarakat di kedua kawasan
itu menunjukkan identitasnya masing-masing. Pola pembangunan masyarakat di
kawasan perdesaan dan pedalaman memerlukan pendekatan situasional yang
sesuai dengan tatanan budaya dan adat istiadat masyarakat lokal. Konsep trickle
down effect, spread effect, serta security approach tidak digunakan
lagi secara efektif, melainkan mengedepankan konsep ekonomi kerakyatan
yang sungguh-sungguh memihak kepada masyarakat melalui pemberian akses yang
tinggi bagi masyarakat untuk terlibat secara aktif dalam seluruh rangkaian
proses pembangunan .Titik tolaknya pada prinsip pembangunan dari dan oleh masyarakat.
Oleh karena itu, mekanisme bottom-up terus didorong dengan prasyarat
adanya upaya peningkatan kemampuan masyarakat dan perangkat pemerintahan
Kampung/kota dan Distrik secara bertahap dan berkesinambungan serta realokasi
anggaran pembangunan kawasan perdesaan dan perkotaan yang memadai sesuai dengan
tingkat kebutuhannya.
- Paradigma pembangunan Era Otonomi Khusus
Undang-undang
Nomor 21 tahun 2001 menjadi acuan utama paradigma baru bagi kelanjutan proses
pembangunan di Papua. Undang-undang ini tidak saja menegaskan kembali
kewenangan berotonomi sebagaimana undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, tetapi
juga diberi label “khusus”. Kekhususan dimaksud dicirikan oleh karakteristik
lokal yang beraras “budaya” dan “format peme-rintahan”. Orientasi pembangunan
pada era ini, pada dasarnya merupakan tindak lanjut dari desain pembangunan
pada era sebelumnya yang telah dikerangkakan dalam perspektif otonomi dan
kemandirian. Dengan semakin menguatnya kesadaran akan ketertinggalan di
berbagai aspek Pembangunan, maka kebijakan, strategi, dan program Pembangunan
semakin diintensifkan. Hal ini didukun dengan adanya tambahan alokasi
pembiayaan, dana OTSUS selain DAU/DAK. Kebijakan pengelolaan dana otonomi
khusus, ditetapkan berdasarkan pada tuntutan kebutuhan Pembangunan di tiap
Kabupaten/Kota di Papua dalam bentuk program prioritas yang dipertajam.
Beberapa hal penting yang masih menjadi kendala serius dalam rangka
keber-lanjutan Pembangunan pada era ini adalah : Pertama, adanya
pemekaran wilayah provinsi dan kabupaten berdasarkan Undang-undang Nomor 45
Tahun 2000. Peristiwa ini telah menimbulkan pengaruh besar terhadap stabilitas
keamanan di Provinsi Papua serta menguras tenaga, pikiran, dan biaya yang tidak
sedikit dalam upaya penyelesaiannya. Tetapi hingga kini belum juga dapat
dituntaskan. Kedua, struktur dan kinerja birokrasi masih saja belum
dapat dituntaskan, terkait dengan belum terbentuknya Majelis Rakyat Papua
(MRP). Ketiga, belum adanya kerangka acuan Pembangunan yang disepakati
berdasarkan jiwa otonomi khusus dan Keempat, intensitas masalah politik
yang makin meninggi.
Memasuki
tahun keempat pelaksanaan otonomi khusus Papua, walaupun terdapat
kendala-kendala serius yang menyertainya, namun telah dicapai kemajuan-kemajuan
berarti, terutama dalam 4(empat) bidang prioritas Pembangunan, yaitu :
pendidikan, kesehatan, ekonomi kerakyatan, dan infrastruktur. Sejumlah indikasi
yang dijadikan ukuran adalah : Pertama, pertumbuhan ekonomi yang semakin
baik, mencapai 4,5 % dengan PDRB mencapai 8,13 %. Kondisi ini menunjukkan bahwa
program prioritas dapat menggerakkan roda perekonomian Papua dan dapat membantu
pembentukan modal masyarakat. Program peningkatan ketahanan pangan dan program
pengem-bangan argribisnis telah mampu meningkatkan produktivitas, perluasan
areal tanam dan pengembangan teknologi, pengembangan usaha untuk meningkatkan
nilai tambah bagi petani, dan penggalakan kembali perkoperasian rakyat. Kedua,
di sektor pendidikan, meningkatnya orang Papua yang telah terdidik hingga
pada jenjang doktor, meningkatnya angka partisipasi sekolah (APK & APM)
bagi SD, SLTP, dan SMU/ SMK, meningkatnya mutu dan jumlah tenaga guru di
berbagai jenjang pendidikan, serta semakin memadainya prasarana dan sarana
pendidikan. Ketiga, di sektor kesehatan, menurunkan angka kematgian bayi
menjadi 80/1000, meningkatnya kualitas gizi penduduk, mening-katnya upaya
penanggulangan penyakit sehingga menurunkan angka kematian dan kesakitan,
meningkatnya mutu dan jumlah tenaga medis dan paramedis, serta semakin
tersebarnya pusat-pusat layanan kesehatan, baik oleh pemerintah maupun swasta.
Hal-hal yang masih dalam upaya penanggulangan serius dan berkelanjutan adalah
HIV/Aids di mana Papua termasuk yang paling beresiko di Indonesia serta
penanggulangan penyakit malaria. Keempat, di sektor infrastruktur, telah
berhasil menambah ruas jalan hingga 811,998 km dan penanganan jembatan 512
meter di berbagai daerah kabupaten/kota, Pembangunan bandar udara sentani,
sorong, mimika, dan beberapa daerah lain, penambahan sarana trasnporasi darat,
laut/sungai, dan udara.
Paradigma
Pembangunan yang diafiliasikan adalah meneruskan paradigma yang diterapkan pada
era sebelumnya (era otonomi daerah), dengan kombinasi pendekatan yang lebih
sarat pada pemberdayaan masyarakat. Program-program Pembangunan yang dicapai
tersebut, mulai memberikan ruang yang luas kepada masyarakat sejak proses
perencanaan hingga monitoringnya. Masyarakat telah dilibatkan dalam proses
pengambilan keputusan untuk mengidentifikasi dan menentukan sendiri
kebutuhannya. Beberapa mekanisme pendekatan yang di-gunakan hingga saat ini,
antara lain RPJMK (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kampung/Keluharan),
Program pengembangan distrik, dan Program pemberdayaan Kampung/Kelurahan, yang
semuanya bertumpu dari masyarakat. Pola pendampingan dan pelibatan stakeholders
dalam hal ini adalah sesuatu yang disyaratkan.Pola pendekatan Pembangunan
yang demikian itu menjustifikasi pemba-ngunan yang berpusat pada rakyat,
sekaligus memotong ketergantungan masya-rakat kampung/kelurahan pada
pemerintahan tingkat atasnya. Dalam jangka panjang, dapat menghapuskan kategori
: pusat, pheriferi, hinterland, atau daerah pusat, daerah semi-pinggrian,
daerah pinggiran, dan enclave, tetapi berubah menjadi semuanya pusat,
masyarakat sebagai pusat Pembangunan. Juga, dapat berarti me-reduksi pendekatan
tricle-down karena faktanya sungguh-sungguh bottom-up bukan lagi
top down di kampung/kelurahan. Sangat disayangkan, karena seiring dengan
keberhasilan tersebut aspek pembiayaannya masih menjadi wewenang dan tang-gung
jawab kabupaten/kota. Walaupun ditengarai akan memunculkan sentralisasi baru di
tingkat provinsi atau kabupaten/kota, tetapi argumen yang diajukan cukup
beralasan karena memang untuk kondisi saat ini, masyarakat kampung dan distrik
masih dipandang tidak cukup cakap dalam mengelola aspek pembiayaannya.
Memasuki
Tahun Pertama pasca terbentuknya DPRP (Dewan perwakilan rakyat Papua) dan MRP
(Majelids Rakyat Papua), ada angin segar bagi perubahan pendekatan Pembangunan
yang lebih mengedepankan aspek-aspek kebutuhan lokalitas. Pendekatan
pengelolaan Pembangunan berbasis pada perencanaan pem-bangunan jangka panjang
(PPJP), perencanaan Pembangunan jangka menengah (PPJM), dan Perencaan
Pembangunan Jangka Pendek – Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) telah
menjadi bagian dari kerangka dasar skenario memajukan masyarakat di
Tanah Papua, seiring dengan semangat desentralisasi yang sedang bergulir saat
ini. Pendekatan pengelolaan Pembangunan ini, diharap-kan dapat mengoptimalkan
segenap potensi daerah ke arah peningkatan kualitas kesejahteraan masyarakat
secara merata. Agar Pembangunan daerah dapat berjalan seiring dan bahkan mampu
menciptakan sinergi antara sesamanya, diperlukan adanya visi dan misi yang
jelas dan dapat dioperasionalkan oleh seluruh perangkat pemerintahan dan
komponen masyarakat.Model pengelolaan Pembangunan tersebut, akan memberikan
peluang untuk memanfaatkan potensi Tanah Papua seoptimal mungkin. Dalam
kerangka itulah, diperlukan suatu sistematisasi rencana Pembangunan yang
dipedomani oleh semua pihak. Rencana Pembangunan merupakan hasil konsensus antara
aktor-aktor Pembangunan seperti Pemerintah Provinsi Papua beserta seluruh
komponen masyarakatnya yang terdiri atas kelompok swasta dan lapisan masyarakat
lainnya. Karenanya, Perencanaan harus memuat komitmen yang kuat bagi kemajuan
masyarakat dan daerah ini sesuai ketersediaan daya dukung sumberdaya
pemba-ngunan yang tersusun berdasarkan skala prioritas yang ditetapkan dan
mengacu pada visi dan misi Pemerintah Provinsi Papua.
Pada
konteks itulah, maka guna mewujudkan tujuan pembangunan di Tanah Papua, telah
dirancang secara sistematis dalam suatu dokumen rencana pembangunan yang integratif
dengan mengacu pada Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem
Perencanaan pembangunan Nasional, Undang-Undang 32 tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah, dan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi
Khusus bagi Provinsi Papua. Sebagaimana disebutkan di dalam Undang-undang Nomor
25 Tahun 2004, bahwa Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD)
merupakan penjabaran dari Visi, Misi Kepala Daerah yang dijabarkan dalam
sasaran-sasaran pokok yang harus dicapai, arah kebijakan, program-program
pembangunan dan kegiatan pokok, sedangkan di dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun
2004, termaktub kehendak pelimpahan kewenangan kepada daerah otonom. Sementara
itu, Undang-undang Nomor 21 tahun 2001 antara lain memuat pasal-pasal yang
menekankan urgensi kewenangan memajukan orang Papua. Maka, disusunlah dokumen
RPJP (rencana pembangunan jangka Panjang) Papua 2005-2020 dan akan disusul dengan
penyusunan Rencana pembangunan Jangka Menengah pasca Pilkada Gubernur dan Wakil
Gubernur periode 2005-2010 yang antara lain memuat kebijakan umum pembangunan,
kebijakan keuangan, dan program pembangunan yang ditumpukan pada sasaran
utamanya di bidang-bidang : pendidikan, kesehatan, ekonomi rakyat dan
infrastruktur, dan dengan memperhatikan perkembangan pembangunan di
bidang-bidang lainnya. Hal yang sama kini sedang digalakan di semua
kabupaten/kota se- Papua yang difasilitasi oleh UNDP (United Nation Development
Programme), dibantu oleh beberapa LSM Lokal dan Universitas Cenderawasih.
BAB
IV
P
E N U T U P
SIMPULAN
Berdasarkan
uraian di atas, maka dapat diketahui bahwa :
- Proses pembangunan di Papuatelah mengalami 3 fase penting yang dicirikan oleh pola anutan paradigma dan kendala-kendalanya masing-masing. Ketiga fase tersebut telah memberi warna pembangunan bagi masyarakat Papua dengan segala keunikannya.
- Dengan berlakunya undang-undang otonomi daerah dan otonomi khusus, terjadi pergeseran nuansa pembangunan yang mulai meninggalkan paradigma pertumbuhan secara perlahan-lahan dan mengedepankan paradigma pembangunan yang lebih manusiawi. Sejak dua fase pembangunan terakhir, adaptasi dan adopsi teori modernisasi dengan paradigma pertumbuhannya mulai ditinggalkan secara bertahap. Tampaknya, di masa mendatang paradigma pertumbuhan akan tergantikan oleh paradigma pembangunan yang lebih sesuai dengan takaran “manusiawi” dan pemberdayaan masyarakat.
- Selama era Orde Baru yang sentralistis itu, seringkali terdengar Strategi Bottom-Up yang disuarakan hanya sebagai komoditi politik belaka, tetapi sebagai komoditi ekonomi sangat jarang atau bahkan tak pernah melihat strategi itu diterapkan di Kampung. Dominasi Top-Down yang sangat kental mewarnai system perencanaan pembangunan hingga ke kampung/ kelurahan, sekaligus mempertontonkan arogansi kepentingan para perencana sendiri.
- Kemajuan-kemajuan pembangunan yang telah dicapai hingga Tahun 2005 ini, sesungguhnya masih dapat dioptimalkan dengan berupaya menghilangkan berbagai kendala politik yang menyertai hubungan pusat-daerah, dan hubungan antar daerah se Tanah Papua.
- Terjadi perkembangan baru pendekatan pembangunan di Tanah Papua pada akhir tahun 2005, dimana mekanisme baru pengelolaan pembangunan yang terigratif dan terencana baik jangka panjang maupun jangka menengah dan jangka pendek sedang digalakkan hingga ke berbagai kabupaten/kota se Papua.
SARAN
- Sehubungan dengan pemberlakuan kebijakan otonomi daerah yang luas, nyata, dan bertanggung jawab menuju berdasarkan prinsip-prinsip yang dikandung otonomi khusus, perlu dilakukan adaptasi institusi birokrasi pemerintahan dan model pemba-ngunan yang demokratis, aspiratif, berkeadilan serta lebih memihak kepada rakyat. Di samping itu, perlu adanya revitalisasi dan refungsionalisasi aparatur pemerintahan berwawasan budaya dan lingkungan. Pada konteks ini, perlu pula dilakukan adaptasi paradigma pembangunan yang lebih sesuai dengan konteks kebutuhan pembangunan.
- Pada dasarnya masyarakat membutuhkan tindakan nyata yang langsung dapat diakses dan dinikmati. Oleh karena itu, perlu meningkatkan varian-varian program aksi yang terakomodasi dalam perencanaan sosial dan perencanaan ekonomi yang lebih spesifik. Nilai-nilai sosial budaya lokal perlu ditransformasikan dalam kerangka pemberdayaan masyarakat dan terintegrasi dalam kinerja pemerintahan dan pembangunan di tingkat Kampung hingga kabupaten.
- Sistem dan prosedur perencanaan pembangunan perlu secara konsisten di-adaptasikan sesuai dengan poa anutan paradigma pembangunan yang berioentasi pada pem-berdayaan masyarakat menuju kemandiriannya. Oleh karena itu, perlu peningkatkan peran institusi perencana dan pelaksana pembangunan di tingkat Kampung hingga ke tingkat kabupaten/kota dan provinsi. Untuk menghindari kemungkinan terjadinya reduksi usulan program secara tidak obyektif atau hilangnya usulan program dari Kampung, diperlukan adanya sistem dokumentasi usulan rencana (dokumen perencanaan yang dialirkan dari bawah ke atas secara konsisten.
- Diperlukan adanya penggalangan kemitraan dengan segenap stakeholders guna mencari dan menemukan visi dan misi pembangunan bersama. Sehubungan dengan itu, diperlukan adanya forum kerjasama formal di antara institusi masyarakat yang ada di setiap Kampung, Distrik, hingga kabupaten. Melalui wadah formal tersebut dijalin kerjasama informasi secara terpadu dalam kerangka makro-sektoral dan mikro-spasial.
- Memulai strategi ekonomi kerakyatan di tengah-tengah masyarakat, di mana peren-canaan pembangunan yang dirancang hendaknya secara sungguh-sungguh dan nyata-nyata melibatkan masyarakat paling bawah. Oleh karena itu diperlukan adanya semacam rekonstruksi model-arus perencanan yang aplikatif dan fleksibel sesuai dengan kondisi masyarakat di tiap wilayah yang diikuti dengan desentralisasi fiskal hingga ke tingkat distrik, yang pada gilirannya diturunkan lagi ke tingkat Kampung/ kelurahan.
- Pergeseran paradigma pembangunan dari sentralisasi ke desentralisasi berarti memerlukan peningkatan peran kemandirian daerah. Oleh karena itu, Pemerintah Kabupaten/Kota perlu menyikapi dan mengakomodasi beberapa prasyarat penting yang memerlukan perhatian serius, seperti : peningkatan kualitas sumberdaya manusia sebagai prioritas utamanya.
DAFTAR
PUSTAKA
Musa’ad,
Mohammad Abud. 2002. Penguatan Otonomi Daerah Di Balik Bayang-Bayang Disintegrasi.Penerbit
ITB. Bandung.
Pemerintah
Provinsi Papua. 2004. Keterangan Pertanggung Jawaban Gubernur Provinsi Papua di
hadapan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Papua. Laporan. Jayapura
Silo,
Akbar. 2004. Kerikil-kerikil Otonomi Daerah di Provinsi Papua : Tata
pemerintahan Baru Dalam Eskalasi Konflik Kepentingan. Laporan Penelitian
tentang GDS (Government Decentralization Survey) ini Papua kerjasama
Universitas Gadjah Mada.
Sumule,
Agus. 2003. Satu Setengah Tahun Otonomi Khusus Papua Refleksi dan Prospek.
Manokwari : Penerbit Yayasan ToPanG
Undang-Undang
Nomor : 22 Tahun 1999
Undang-Undang
Nomor : 25 Tahun 1999
Undang-Undang
Nomor : 21 Tahun 2001
Giay,
Beny.2001. Menuju Papua Baru, Makalah
Silo,
Akbar 2009. PEMBANGUNAN DAERAH DI TANAH PAPUA, Makalah
By
: Jack Ibo
Mahasiswa
Pemerintahan
FISIP
– Universitas Cenderawasih
Jayapura
– Papua
from → Uncategorized
There is a safe & effective Natural Herbal Medicine. For Total Cure Call +2349010754824, or email him drrealakhigbe@gmail.com For an Appointment with (Dr.) AKHIGBE contact him. Treatment with Natural Herbal Cure. For: Painful or Irregular Menstruation. HIV/Aids. Diabetics. Vaginal Infections. Vaginal Discharge. Itching Of the Private Part. Breast Infection. Discharge from Breast. Breast Pain & Itching. Lower Abdominal Pain. No Periods or Periods Suddenly Stop. Women Sexual Problems. High Blood Pressure Chronic Disease. Pain during Sex inside the Pelvis. Pain during Urination. Pelvic Inflammatory Disease, (PID). Dripping Of Sperm from the Vagina As Well As for Low sperm count. Parkinson disease. Lupus. Cancer. Tuberculosis. Zero sperm count. Asthma. Quick Ejaculation. Gallstone, Premature Ejaculation. Herpes. Joint Pain. Stroke. Weak Erection. Erysipelas, Thyroid, Discharge from Penis. HPV. Hepatitis A and B. STD. Staphylococcus + Gonorrhea + Syphilis. Heart Disease. Pile-Hemorrhoid.rheumatism, thyroid, Autism, Penis enlargement, Waist & Back Pain. Male Infertility and Female Infertility. Etc. Take Action Now. contact him & Order for your Natural Herbal Medicine: +2349010754824 and email him drrealakhigbe@gmail.com Note For an Appointment with (Dr.) AKHIGBE.I suffered in Cancer for a year and three months dieing in pain and full of heart break. One day I was searching through the internet and I came across a testimony herpes cure by doctor Akhigbe. So I contact him to try my luck, we talk and he send me the medicine through courier service and with instructions on how to be drinking it.To my greatest surprise drinking the herbal medicine within three weeks I got the changes and I was cure totally. I don't really know how it happen but there is power in Dr Akhigbe herbal medicine. He is a good herbalist doctor.
BalasHapus